Rabu, Januari 28, 2009

Lima Pokok Al-Qur'an



Al Mahawir Al Khamsah Li Al Quran Al Karim

Muhammad Al Ghazali (1917 – 1996) siapa yang tidak mengenalnAya di dunia islam dan khususnya timur tengah ,seorang dai dan pemikir yang karangan – karangannya telah memperkaya khazanah perpustakaan islam. Ia terkenal dengan dakwahya yang begitu banyak menyoroti kelemahan kelemahan umat islam dan dalam waktu bersamaan ia pun bisa berdakwah begitu menyentuh dan membangkitkan kesadaran umat islam.

Karya Al Ghazali begitu banyak hingga mencapai 60 karya tulis, salah satu karyanya yang terkenal adalah Al Mahawir Al Khamsah Lil Quran Al Karim. Karya ini membuktikan bahwa Al Ghazali memiliki perhatian yang cukup serius dalam bidang kajian Al Quran dan tafsir, disamping karyanya yang serupa yakni Nahwa Tafsir Maudhui dan Nazharat fi Alquran. Karya Al Mahawir Al Khamsah lebih tepat disebut sebagai pengantar untuk memahami karyanya dalam bidang tafsir yaitu nahwa tafsir maudhui. Tafsir maudui yang dimaksud Al Ghazali ini adalah memahami pesan -pesan utama yang ada di dalam setiap surat dan semangat yang terkandung didalamnya. Sehingga setiap surat tidak ditafsirkan secara urut ayat tetapi hanya menarik benang merah yang ada didalamnya, sehingga nampak jelas apa sesungguhya pesan utama yang ada dalam setiap surat yang ada di dalam Al Qur'an.

Menurut Al Ghazali ada lima fokus pembahasan yang sering dan paling penting yang terdapat dalam Al Quran. Pertama adalah Allah Al Wahid, Allah Maha Esa. Kedua, Alam semesta, Al Kaun yang menunjukkan adanya sang penciptanya. Ketiga, kisah –kisah Al Quran. Keempat, kebangkitan dari kubur dan adanya pembalasan, al baa'st wa al jaza'. Kelima, aspek pendidikan dan tasyri'.

Allah Al Wahid, Allah Maha Esa merupakan fokus pembahasan yang banyak dan paling penting yang disampaikan Al Quran. Oleh karena itu kita melihat ayat - ayat Al Quran menolak konsep banyak tuhan atau syirik. Menurut Al Quran tuhan tuhan yang disembah selain Allah adalah nama –nama hasil rekayasa manusia. Allah-lah Maha Esa.Tempat bergantung semua makhluk, tidak beranak dan diperanakkan dan tiadak ada satupun yang menyamainya (QS Al Ikhlas : 1 – 4 ). Dialah pencipta segala sesuatu ( QS : Az – Zumar :62 ). Dua ayat diatas cukup jelas mengenai konsep ketuhanan dalam Al Quran. Ia menolak segala konsep trinitas , syirik dan tidak percaya tuhan (Mulhid, komunis), Untuk membuktikan Allah itu Maha Esa menurut Al Ghazali sangatlah banyak dalam Al Quran, akan tetapi dalam sejarahnya umat islam justru sibuk membuktikan keesaan Allah melalui metode filsafat yunani yang mendominasi pemikiran kalam islam. Seandainya umat Islam mengambil konsep akidah mereka dari Al Quran saja tentu mereka akan bebas dari keruwetan filsafat yunani (hlm, 13). Disamping itu Al Quran juga menolak segala bentuk syirik bahkan menjadikan hawa nafsu sebagai tuhan yang segala keinginannya harus dipenuhi juga dianggap sebagai bentuk kekafiran dan kekufuran. Dalam bahasa tegas Al Ghazali mengatakan tidaklah penting apakah kesyirikan itu dalam bentuk patung yang dipahat atau pemimpin yang mecitrakan dirinya seprti firaun. Cukuplah hati dan pikiran yang kosong dari Allah, hanya mengikuti hawa nafsu semata mata mengingat dunia dan mengingkari akhirat dan hanya mengikuiti seruan hawa nafsu belaka dapat dianggap satu bentuk kekufuran, jika tidak lantas apalagi yang pantas disebut kekufuran itu ( hal.50 ). Umat islam akan bisa selamat jika menjadikan tauhid sebagai filsafat hidup dan spirit mereka,bukan semata mata hanya jargon kosong.

Fokus kedua, Al Quran adalah alam yang menunjukkan adanya Sang Pencipta alam semesta. keindahan dan keteraturan semesta, pergantian siang dan malam, hujan turun dari langit yang memberikan kehidupan bagi bumi, perputaran angin serta langit bumi menjadi tanda - tanda dan sekaligus menunjukkan adanya Sang Penciptanya (QS Al Jatsiah : 3–6 ) menurutnya, keterbukaan kita dalam memahami alam semesta merupakan tuntutan Al Quran (hal. 5-60). Kemunduran umat islam lebih banyak disebabkan karena mereka kurang memperhatikan dan mempelajari alam semesta (Hal. 57). Iman yang dibangun tanpa memperhatikan ayat- ayat kauniah dan tuntutan Al Quran akan berubah menjadi pemikiran yang rumit dan penalaran penalaran filsafat teoritis yang mati (Hal. 57). Umat Islam sibuk membaca kitab kitab (tauhid atau filsafat islam) yang suda mati dan mereka tidak membaca alam terkembang ini padahal Al Quran sering kali mendorong kita untuk memahami ayat – ayat kauniah ini.(Hal. 58). Menurut Al Ghazali mengaibakan dan tidak peduli untuk mengkaji alam semesta merupakan pintu kebodohan dan kesesatan. Sesungguhnya islam membangun ma'rifatnya kepada Allah dengan pemahaman yang mendalam terhadap alam dan mengkajinya terus menerus. Ilmu yang jauh dari pemahaman terhadap alam semesta merupakan penyimpamgan yang berasal dari yunani bukan metode islam dan orang orang yang begitu cenderung terhadap penyimpangan ini telah membahayakan risalah islam (Hal. 53).

Fokus ketiga adalah kisah kisah Al Quran. Al Quran memang demikian banyak menceritakan kisah kisah para nabi dan rasul dan kisah kisah umat sebelum Rasulullah. Menurutr Al Ghazali semua kisah Al Quran meskipun satu kisah diulang diulang diberbagai surat bukanlah satu bentuk pengulangan tanpa memiliki arti dan tujuan sendiri. Dengan kata lain setiap pengulangan kisah yang sama memiliki konteks dan pesan yang ingin disampaikan dan saling menyempurnakan satu sama lain. Seperti kisah Nabi Adam AS. (Hal. 83)

Menurut Al Ghazali kisah kisah Al Quran merupakan media dan alat pendidikan. Dengan memahami kisah –kisah Al Quran Kita dapat melihat bahwa penyakit sosial masyarakat memiliki kemiripan meski mereka dipisahkan oleh waktu yang sangat lama. Tuduhan penyihir dan orang gila yang dituduhkan oleh umat Nabi Nuh kepadanya sama juga dengan yang dituduhkan oleh orang Quaisyi kepada Rasulullah. Seolah -olah mereka saling berpesan untuk tuduhan yang sama (QS Azd Dzariat : 52–54). Begitu juga sikap para elit kaum nuh yng memandang rendah orang orang miskin sama dengan sikap yang ditampilkan orang Quraisy ( QS 27 : Ayat 29-30). Kisah Al Quran sebelum ia menjadi bukti historis ia merupakan penjelas bagi aqidah, adab, ibadah, dan politik. Untuk memahami kisah kisah Al Qur'an ini dengn baik,maka Al Ghazali menawarkan satu tafsir tematik yang menghimpun semua kisah –kisah yang ada dalam Al Quran agar dapat dipahami dengan baik. Tujuan utama kisah dalam Al Quran adalah agar umat islam dapat memahami sunnah sunnah Allah di alam semesta dan sunnahnya yang berlaku bagi masyarakat sehingga umat Islam tidak berupaya untuk melampuinya dan selalu sejalan dengan Sunnah Allah. Menurut Al Ghazali, kita umat islam akan bisa menguasai dunia ini dengan baik jika kita berinteraksi dengan benar terhadap sunnah sunnah Allah di alam semesta ini.

Fokus keempat adalah kebangkitan dari kubur dan pembalasannya. Ketika Allah menciptakan manusia sebenarnya manusia diciptakan untuk abadi di surga. Manusia hidup di dunia hanya untuk sementara. Al Quran banyak bicara tentang akhirat dan hisab. Ada surga yang penuh dengan nikmat dan ada neraka yang penuh dengan adzab dan kekal didalamnya hanya saja banyak manusia yang tidak percaya akan akhirat dan tidak bersiap untuk bertemu dengan Allah dan hidup di dunia dengan segala perbuaatn maksiat. Oleh karena itu Al Quran selalu menyebut dan mengulang tema kebangkitan dari kubur dan adanya hisab di Akhirat, hampir semua surat selalu menyebut masalah ini bahakn surat Al Fatihah yang dibaca dalam shalat 5 waktu menyebutkan hari pembalasan ini (Maliki Yaumiddin).

Dalam Al Quran, Allah menjelaskan bahwa Ia akan menegakkan keadilan dan menghukum orang orang zhalim: pada hari itu semua manusia akan dibalas apa yang pernah mereka lakukan.Hari itu tidak ada kezhaliman. Dan Allah sangat cepat perhitungannya (QS Al Ghofir : 17 ). Dunia ini tempat untuk menguji manusia, tempat beramal bukan untuk menerima hasil juga bukan tempat tegaknya keadilan. Banyak Para Nabi yang terbunuh, kebohongan seperti kebenaran yang tersebar luas, keseimbangan harus dikembalikan dan tempatrnya di akhirat. Al Quran menghadirkan pembicaraan tentang kiamat seolah–olah ia hadir dihadapah kita, mendidik kita bahwa setelah dunia ini ada akhirat tempat kita mempertanggungjawabkan apa yang telah kita lakukan disini,di dunia.

Pendidikan seperti apakah yang di inginkan Al Quran? Pendidikan itu adalah pendidikan rabbaniah, Peradaban yang rabbaniah, kebudayaan rabbaniah. Manusia rabbani adalah manusia yang mengetahui hakikat dirinya dan selanjutnya ia bergerak didalam kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itu Al Quran banyak menyebutkan apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang tidak dicintai Allah. Ini menurut AL Ghazali memiliki makna tarbiyah (pendidikan). Karena seorang mukmin akan melakukan apa yang dicintai Allah dan meninggalkan apa yang dibenci Allah. Dan keduanya memiliki makna ibadah, karena ibadah tidak hanya di dalam masjid tetapi ia bisa dilakukun di segala tempat (Hal.160)

Sedangkan fokus kelima adalah dbidang pendidikan dan tasyri'. Untuk ini Al Ghazali membuat pembahasan tersendiri dan menghimpun banyak ayat perbuatan apa saja yang dicintai Allah dan apa saja yang tidak dicintai Allah. Misalnya, Allah tidak mencintai orang yang melampaui batas, Allah mencintai orang yang yang suka berbuat baik,mencintai orang yang suka bertaubat, orang bertakwa,orang yang suka bertawakal dan sebagainya. Tidak mencintai orang yang berbuat sombong, suka berbuat dosa, penghianat, suka berlebih-lebihan, suka berbuat kerusakan dan sebagainya.

Kiranya karya Al Ghazali ini perlu dikaji scara seksama oleh para santri pesantren yang ingin mempelajari tafsir atau lebih tepatnya kitab ini sebagai muqoddimah atau pengantar belajar tafsir karena sering kali kita langsung mengajarkan satu kitab tafsir kepada para santri tanpa kita memberikan satu bentuk pengantar kepada mereka bahkan mungkin kita pun tidak tahu apakah sebenarnya tema sentral atau fokus utama kandungan Al Quran itu. Paling tidak karya ini dapat membantu para pengampu tafsir dikalangan pesantren khususnya untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam terhadap kajian tafsir ketika mengajar tafsir. Disinilah Urgensi karya Al Ghazali ini dan kontribusinya dalam pengembangan studi Al Quran patut untuk diapresiasi.

Tentang Kitab:
Judul
:
Al Mahawir Al Khamsah Li Al Quran Al Karim
Pengarang :
Syaikh Muhammad Al Ghazali
Penerbit
:
Dar As Syuruq, Kairo
Hal.
:
208 Halaman
Cetakan
:
I Tahun 2000

*Samito Manurung, Santri Pondok Pesantren Nurul Ummah Prenggan Kotagede Jogjakarta

Label:


Baca Selengkapnya...!

Selasa, Januari 27, 2009

KH. M. HASYIM ASY'ARI


Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama
besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil,
gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu
kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab,
"Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru
pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan
juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru
selama-lamanya. " Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami
sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan
turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru
kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya,
Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai
santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya
cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan
akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada
para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya.
Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren
Kademangan, Bangkalan Madura ini.

Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja
ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian
ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim
punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama
sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari
Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian
tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul
Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling
besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng
adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di
seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian
memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai
Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim
menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi
bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.

Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama,
ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga
pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian
Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda)
menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada
l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin,
karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking
khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut
dipenjarakan bersama kiainya itu.

Mendirikan NU
------------ -
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh
Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping
Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim
Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad
Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh
itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.

Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan
kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam
dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam
lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah
Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat
Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda
dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali
ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah.

Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide
Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan
mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami
maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan Hadist
tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang
tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan
Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal
tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki
kehidupan tarekat.

Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan
bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut
kelompok tradisional) , dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu
memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al
Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan
dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam,
untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di
antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite
Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini
bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada
penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang
pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang
artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat.
Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan
federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal
dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai
politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
------------ ---------
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi,
Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu,
Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka
Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim
adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren
Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai
Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar
Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang
sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil
sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia
15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula
ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian
pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren
Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang
dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di
bawah asuhan Kiai Cholil.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya,
Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu
di Pesantren Siwalan.

Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda
yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu,
melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama
setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke
tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia
menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air,
Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama
kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan
saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang
yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang
kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan
pesantrennya.

Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim
dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak
(istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim,
Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947.
Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan
Nasional.

--- *** ---
Sumber: Milis "NUMESIR"

Label:


Baca Selengkapnya...!

Kamis, Januari 22, 2009

Rinduku Pada Sang Kyai

Oleh: Syarif Istifham

Ya Syeikh...
Aku tahu kau disana selalu sayang padaku
Meskipun aku seringkali melupakan budimu
Jasamu begitu besar dalam mendidik jiwaku
Kemuliaan Akhlakmu menjadi teladan bagiku

Ya Syeikh...
Aku memahami kegalauan hati panjenengan
Melihat kelakuanku yang mirip bajingan
Namun, engkau senantiasa mendo'akanku
Memberi semangat serta nasihat untukku

Ya Syeikh...
P'nah suatu kali kau mengirim sms untukku
Yang berisi do'a kesuksesan atas diriku
Aku tak akan pernah lupa akan do'amu itu
Bahkan sampai saat ini masih kusimpan di hpku

Ya Syeikh...
P'nah juga suatu waktu kau berpesan padaku
Agar aku selalu mendo'akan keluargamu
Jika aku menginginkan ilmu yang manfaat darimu
Namun, aku sering lupa akan pesanmu itu

Ya Syeikh...
Maafkan atas segala ke-kurangajaran-ku
Kesalahan, serta kelalainku akan nasihatmu
Namun, bukan b'arti kau gagal dalam mendidikku
Melainkan proses hidup yang kadangkala merubahku

Ya Syeikh...
Bahagia rasanya bila aku bisa selalu di sampingmu
Menatap elok wajahmu dan mendengar merdu suaramu
Seperti dahulu saat-saat aku masih mengaji denganmu
Sungguh aku merindukan saat-saat seperti itu

Ya Syeikh...
Aku merindukanmu....
Aku merindukan wajahmu...
Aku merindukan senyummu....
Aku merindukan suaramu....

Kairo, 23 Muharram 1430 H.

Label:


Baca Selengkapnya...!

Senin, Januari 19, 2009

Kyai Kholil Bangkalan


Ulama besar yang digelar oleh para kiyai sebagai “syaikhuna” yakni guru kami, kerna kebanyakan kiyai-kiyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Kiyai Kholil bin Kiyai ‘Abdul Lathif bin Kiyai Hamim bin Kiyai ‘Abdul Karim bin Kiyai Muharram bin Kiyai Asral Karamah bin Kiyai ‘Abdullah bin Sayyid Sulaiman yang merupakan cucu kepada Sunan Gunung Jati. Kiyai Kholil dilahirkan pada hari Selasa, 11 Jamadil Akhir 1235 di Bangkalan, Madura.

Dari kecil, kecintaannya kepada ilmu telah terserlah. Selain menghafal al-Quran, beliau sejak kecil telah hafal 1000 bait nazam Alfiyyah Ibnu Malik. Bahkan, beliau amat menitik beratkan pelajaran nahwu sehingga santri-santri beliau tidak akan dibenarkan menamatkan pengajian dan pulang ke kampung jika belum hafal Alfiyyah. Justru, setiap santri yang mohon untuk pulang, terlebih dahulu diuji hafalan Alfiyyahnya, jika belum hafal maka jangan harap diizinkan pulang. Begitulah penekanan yang beliau berikan kepada ilmu nahwu yang merupakan antara ilmu alat yang terpenting. Kelemahan dalam ilmu ini akan membawa kepada lemahnya memahami kitab-kitab para ulama terdahulu, maka wajar sekali jika Embah Kholil memberikan penekanan terhadap ilmu ini.

Selain ilmu nahwu, beliau turut menguasai ilmu fiqh terutama sekali fiqh Syafi’i, tafsir, qiraah dan juga tasawwuf dan thoriqah. Beliau menghafal al-Quran dan menguasai segala ilmu berhubungan dengannya termasuklah menguasai qiraatus sab’ah. Beliau menimba pengetahuannya daripada ramai ulama seperti Kiyai Muhammad Nur dan di berbagai pesantren antaranya Pesantren Langitan Tuban, Pesantren Cangaan Bangil, Pesantren Keboncandi Pasuruan dan Pesantren Banyuwangi. Setelah itu, beliau berangkat ke Makkah al-Mukarramah untuk menimba ilmu di sana. Sewaktu nyantri, beliau tidak mengharapkan biaya daripada orang tuanya, bahkan beliau menampung biayanya sendiri dengan melakukan berbagai pekerjaan di samping belajar.

Beliau berangkat ke Makkah dalam tahun 1859, ketika berusia 24 tahun. Sepanjang perjalanan ke Makkah dan semasa di sana, beliau lebih gemar berpuasa dan melakukan riyadhah kerohanian. Dikisahkan bahawa selama di Makkah, kebiasaannya beliau hanya makan kulit tembikai berbanding makanan lain. Setelah pulang ke tanahairnya, beliau mendirikan pesantren di Desa Cengkebuan. Pesantren ini akhirnya beliau serahkan kepada menantunya Kiyai Muntaha, dan beliau sendiri membuka sebuah lagi pesantren di Desa Kademangan, Bangkalan. Antara ulama yang menjadi santri beliau adalah Hadhratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, Kiyai Wahhab Hasbullah, Kiyai Ahmad Qusyairi dan Kiyai Bisri Syansuri.

Kiyai Kholil selain terkenal sebagai ulama, juga dikenali sebagai seorang waliyullah yang mempunyai berbagai karamah dan kasyaf. Murid beliau, Kiyai Ahmad Qusyairi bin Shiddiq dalam karyanya “al-Wasiilatul Hariyyah” mensifatkan gurunya ini sebagai ” beliau yang dalam ilmu nahwunya seperti Sibawaih, dalam ilmu fiqh seperti Imam an-Nawawi dan dari segi banyak kasyaf dan karamah seperti al-Quthub al-Jilani.” Maka tidak heran, makamnya sehingga kini diziarahi ramai untuk menjalankan sunnah ziarah kubur dan ngalap berkat. Beliau meninggal dunia pada 29 Ramadhan 1343H. Selain meninggalkan ramai santri yang menjadi ulama dan kiyai besar, beliau turut meninggalkan beberapa karangan antaranya “ash-Shilah fi bayanin nikah” dan “al-Matnusy-Syarif“. Moga Allah sentiasa mencucuri rahmat dan kasih-sayangNya kepada Embah Kiyai Kholil serta para leluhurnya juga sekalian ulama dan umat yang mentawhidkan Allah s.w.t. .. al-Fatihah.

Source : milist Majlis Rasulullah

Label:


Baca Selengkapnya...!

Rabu, Januari 14, 2009

Syaikh Muhammad Rasyid Ridha

Seorang syaikh reformis besar, Muhammad Rasyid Ridha, siapa yang tidak mengenal matahari di tengah siang benderang? Riwayat hidup reformis ini termasuk riwayat-riwayat hidup yang sangat mengesankan perasaan saya dan menggantungkan hati saya untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang siapa dia. Yah, tokoh yang lain dan beda dari tokoh-tokoh yang lainnya. Berbagai pengalaman di dunia membuat jalan Rasyid menjadi terang, ia cari kebenaran dengan dalilnya, bekerja keras demi menyampaikan dakwah, memberantas bid’ah dan menyebarkan apa yang dianggapnya haq. Ia terus belajar dan bepergian untuk mencari orang yang kelak dapat menerangi cakrawala ma’rifah dengan dalilnya. Setelah berada di perguruan yang bertarung dengan berbagai pengalaman, akhirnya kondisinya pun menjadi stabil. Berkat taufiq Allah, ia berjalan di atas jalan orang-orang yang shalih, membawa panji salaf sebagai penyebar, pengajar, pembela dan pendebatnya. Maka lahirlah di tangannya generasi intelektual yang mengikuti jejaknya dan berkomitmen dengan manhaj Salaf.

Siapa Muhammad Rasyid Ridha?

Beliau adalah Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha’uddin al-Qalmuni, al-Husaini. Nasabnya sampai kepada Alu al-Bayt (Ahli Bayt) .

Beliau dilahirkan pada tanggal 27-5-1282 H di sebuah desa bernama Qalmun, sebelah selatan kota Tharablas (Tripoli), Syam. Ia mulai menuntut ilmu dengan menghafal al-Qur’an, mempelajari khat dan ilmu berhitung.

Kemudian belajar di madrasah “ar-Rasyidiyyah” yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Turki. Tetapi tak berapa lama, ia tinggalkan tempat itu untuk meneruskan studinya di sekolah nasional Islam (al-Wathaniyyah al-Islamiyyah) yang didirikan dan diajarkan gurunya, Husain al-Jisr. Ia mengenyam belajar di sekolah ini selama 7 tahun yang kemudian merubah perjalanan kehidupannya dan mulailah ‘rihlah’ Tasawufnya.

Bersama Tarekat Syadziliyyah

Beliau mulai mempelajari tasawuf ketika gurunya, Husain al-Jisr membacakan kepadanya sebagian buku-buku Tasawuf, di antaranya beberapa pasal dari kitab ‘al-Futuuhaat al-Makkiyyah’ dan beberapa pasal dari kitab karya al-Fariyaq.

Pernah ia membaca ‘wird as-Sahar’ dari buku Tasawuf itu, dan saat membaca bait berikut:
Dan derai air mata telah mendahuluiku
Akibat rasa takut terhadap-Mu

Beliau berhenti dan menolak untuk membacanya karena merasa air matanya tidaklah berderai saat itu. Penolakannya ini semata karena merasa malu berdusta kepada Allah sebab kenyataannya air matanya belum dan tidak berderai ketika membaca bait itu.??!!

Setelah beliau menggali dan memperdalam ilmu dan ushuluddin, sadarlah ia bahwa membaca ‘Wird’ tersebut termasuk bid’ah. Karena itu, ia pun meninggalkannya dan lebih memilih untuk membaca dan mempelajari al-Qur’an.

Beliau juga sempat belajar dengan gurunya yang lain, Abu al-Mahasin al-Qawiqji hingga berhasil mendapatkan ‘ijazah’ (semacam rekomendasi sah sebagai murid yang berhak membaca buku gurunya-red) untuk kitab ‘Dala’il al-Khairat.’

Setelah mempelajarinya, semakin nyata baginya bahwa kebanyakan isi buku tersebut mengandung kedustaan terhadap Nabi SAW, maka beliau pun meninggalkannya.

Ia kemudian beranjak membaca dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang berisi shalawat kepada Nabi SAW yang kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan (valid).

Bersama Tarekat Naqsyabandiyyah

Mengenai hal ini, Syaikh Rasyid menyebutkan bahwa yang membuatnya gandrung mempelajar Tasawuf adalah pesona kitab ‘Ihya’ ‘Ulum ad-Diin’ karya Imam al-Ghazali.

Kemudian beliau meminta kepada gurunya dalam tarekat Syadziliyyah, Muhammad al-Qawiqji untuk memperkenankannya untuk tetap menjalankan tarekat Syadziliyyah secara formalitas saja namun sang guru berkeberatan seraya berkata, “Wahai anakku, aku bukan orang yang tepat untuk mengabulkan permintaanmu itu. Permadani ini telah dilipat dan para penganutnya telah berlalu…”

Syaikh Rasyid juga menyebutkan, ada temannya yang bernama Muhammad al-Husaini berhasil menjadi seorang Sufi terselubung dalam tarekat Naqsyabandiyyag. Ia beranggapan dirinya telah mencapai tingkat ‘Mursyid Sempurna’.

Karena itu, Rasyid lalu mengikuti tarekat Naqsyabandiyyah ini melalui bimbingan temannya itu. Beliau akhirnya banyak menghabiskan usianya dalam tarekat ini. Mengenai hal ini, beliau bertutur, “Di sela-sela itu, aku melihat banyak sekali perkara-perkara ruhani yang terjadi di luar kebiasaan. Dari banyak kejadian itu, aku berupaya menafsirkannya namun sebagiannya tak berhasil aku ungkap.”

Beliau melanjutkan, “Akan tetapi buah cita rasa yang tidak lazim ini tidak sama sekali menunjukkan bahwa seluruh sarananya adalah disyari’atkan atau sebagiannya yang bernuansa bid’ah dibolehkan seperti yang kemudian aku teliti lagi.”

Rasyid menyebut kegiatannya menjalani ‘wirid harian’ dalam tarekat Naqsyabandiyyah adalah dengan cara mengucapkan nama ‘Allah’ di dalam hati, tanpa ucapan lisan sebanyak 5000 kali seraya membelalakkan kedua mata, menahan nafas sekuat daya dan mengikat hati dengan hati sang guru.


Setelah di kemudian hari jelas baginya semua itu, ia menyebut wirid itu sebagai perbuatan bid’ah bahkan dapat mencapai kesyirikan terselubung ketika seseorang mengikat hatinya dengan hati sang guru. Sebab dalam tuntutan tauhid, seorang hamba di dalam setiap ibadahnya harus menuju Allah semata, dengan lurus total dan tidak condong serta berserah diri kepada-Nya dalam agama.

Mengenai pengalamannya bersama aliran ‘Tasawuf’ ini, Syaikh Rasyid kemudian menyebut banyak hal, di antaranya, beliau mengatakan, “Kesimpulannya, saya dulu berkeyakinan bahwa Thariqat (Tarekat/Jalan), Ma’rifah, Penyucian jiwa dan mengetahui rahasia-rahasianya adalah dibolehkan secara syari’at, tidak terlarang sama sekali dan dapat berguna seraya berharap mencapai ma’rifat Allah, tanpa melakukannya tidak akan mencapai sasaran.”

Mendapat Hidayah, Beralih Dari Tasawuf Ke Pemahaman Salaf

Setelah bertahun-tahun menjalani kehidupan sebagai Sufi, beliau menuturkan pengalamannya, “Saya sudah menjalani Tarekat Naqsyabandiyyah, mengenal yang tersembunyi dan paling tersembunyi dari misteri-misteri dan rahasia-rahasianya. Aku telah mengarungi lautan Tasawuf dan telah meneropong intan-intan di dalamnya yang masih kokoh dan buih-buihnya yang terlempar ombak. Namun akhirnya petualangan itu berakhir ke tepian damai, ‘pemahaman Salaf ash-Shalih’ dan tahulah aku bahwa setiap yang bertentangan dengannya adalah kesesatan yang nyata.”

Beliau banyak terpengaruh oleh majalah ‘al-‘Urwah al-Wutsqa’ dan artikel-artikel para ulama dan sastrawan. Terlebih, pengaruh gurunya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Beliau benar-benar terpengaruh sekali sehingga seakan gurunya lah yang telah menggerakkan akal dan pikirannya untuk membuang jauh-jauh seluruh bid’ah dan menggabungkan antara ilmu agama dan modern serta mengupayakan tegak kokohnya umat dalam upaya menggapai kemenangan.

Dan yang lebih banyak mempengaruhinya lagi adalah beliau buku-buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab.

Hal itu, menciptakan gerak dan aktifitasnya setelah sebelumnya tenggelam dalam kubangan kemalasan, kehilangan kesadaran dan terjerumus ke dalam berbagai bid’ah dan kesesatan seperti yang ada pada aliran Tasawuf.

Mengingkari Penganut Tarekat-Tarekat Sufi

Kejadian pertama di mana secara terang-terangan beliau mengingkari tarekat-tarekat sufi itu adalah saat suatu hari, seusai shalat Jum’at, salah satu keluarga penganut tarekat Sufi mengadakan acara yang disebut Rasyid sebagai ‘Pertemuan Dengan Maulawiyyah’.

Mengenai hal ini, Rasyid mengisahkan, bahwa tatkala sudah tiba waktu pertemuan, para guru Sufi yang sering disebut ‘Darawisy Maulawiyyah’ berkumpul di majlis mereka. Di depan mereka duduk sang guru resmi. Di situ, hadir para bocah-bocah berwajah tampan dan mulus, berpakaian putih cemerlang layaknya jilbab para pengantin. Mereka menari-nari mengikuti irama musik, berputar-putar dengan sangat cepat seraya bersorak-sorai. Jarak mereka beriringan, tidak saling berbenturan, mengulurkan lengan-lengan dan memiringkan pundak-pundak. Satu demi satu dari mereka melewati sang guru seraya merunduk.

Pemandangan itu sungguh mengganggu dan melukai perasaan Rasyid. Ia tidak menyangka kondisi kaum muslimin sampai sekian jauh terperosok ke dalam bid’ah dan khurafat. Betapa tega mempermainkan keyakinan manusia dan meracuni akal pikiran mereka. Yang benar-benar menyakiti perasaannya adalah anggapan mereka bahwa permainan bid’ah itu adalah sebagai bentuk ibadah dalam mendekatkan diri kepada Allah. Bahkan mendengar dan menyaksikan pemandangan itu mereka anggap sebagai ibadah yang disyari’atkan.

Rasyid tidak hanya bertopang dagu menyaksikan hal itu. Ia terpanggil untuk mengemban kewajiban sesuai dengan bacaan yang selama ini ia dapatkan dari referensi Salaf baik melalui kitab-kitab mau pun majalah-majalahnya.

Ia mengisahkan, “Aku katakan kepada mereka, ‘Apa ini.?’ Salah seorang menjawab, ‘Ini dzikir tarekat maulana Jalaluddin ar-Rumi, penyandang kedudukan terhormat.!’ Mendengar itu, aku tidak dapat menahan diri lagi. Aku langsung berdiri di ruang utama seraya berteriak sekencang-kencangnya, yang kira-kira bunyinya, ‘Wahai manusia dan kaum muslimin! Ini perbuatan munkar, tidak boleh dilihat apalagi mendiamkannya sebab sama artinya menyetujui dan melegitimasi para pelakunya. Padahal Allah berfirman, ‘Mereka menjadikan agama mereka sebagai ejekan dan mainan.’ Sungguh, aku telah menjalankan kewajibanku. Karena itu, keluarlah kalian, semoga Allah merahmati!’”

Kemudian, Rasyid pun cepat-cepat keluar menuju kota. Teriakan ‘Salafi’-nya itu berbuah juga. Sekali pun baru diikuti segelintir orang tetapi gaungnya masih terus bergema di tengah masyarakat. Ada pihak yang mendukung dan ada pula yang menentangnya.

Sekalipun banyak dari kalangan tuan-tuan guru Sufi yang menentang dan mengingkari tindakan Rasyid, namun anak muda ini bertekad akan terus menempuh caranya dalam memperbaiki masyarakat dari kesesatan-kesesatan dan bid’ah-bid’ah tersebut.

Ironisnya, justeru di antara yang menentangnya itu adalah gurunya sendiri, yang dulu beliau pernah mendalami tarekat Syadzili padanya, Syaikh Husain al-Jisr. Sang guru beranggapan, tidak boleh mengganggu para Sufi dan aktifitas bid’ahnya, siapa pun orangnya. Saat itu, gurunya itu berkata kepadanya, “Aku nasehati kamu agar tidak mengganggu para ahli tarekat.” Rasyid menjawab dengan nada mengingkari, “Apakah para ahli tarekat itu memiliki hukum-hukum syari’at sendiri selain hukum-hukum umum untuk seluruh umat Islam.?”

Ia menjawab, “Tidak! Tetapi mereka memiliki niat yang tidak sama dengan niat sembarang orang, mereka juga memiliki pandangan yang berbeda dengan pandangan orang-orang.” Rasyid menjawab, “Dosa yang dilakukan para ahli tarekat itu lebih besar daripada dosa pelaku maksiat biasa sebab mereka (para ahli tarekat) telah menganggap mendengarkan kemungkaran dan tarian yang dilakukan bocah-bocah tampan dan mulus itu sebagai bentuk ibadah yang disyari’atkan sehingga mereka itu telah membuat syari’at agama untuk diri mereka yang tidak pernah diperkenankan Allah sama sekali. Tetapi saya tidak pernah tidak mengingkari suatu kemungkaran yang terjadi di hadapan mata saya.!”

Sekali pun hujjah Rasyid sangat kuat dalam membantah gurunya, hanya saja sang guru tetap berpegang pada pendiriannya karena menganggap ia memiliki kehormatan dan kemuliaan.!!

Perbedaan pendapat di antara murid dan sang guru itu terus berlanjut, bahkan semakin tajam saat Rasyid berhijrah ke Mesir. Apalagi melalui majalahnya, ‘al-Manar,’ Rasyid sangat mengingkari perbuatan para ahli tarekat Sufi itu. Sebab ia sudah melihat sendiri betapa kemungkaran dan bid’ah yang terjadi dalam berbagai kegiatan spritual tarekat-tarekat sufi itu seperti perayaan maulid. Sementara itu, sang guru, al-Jisr gigih pula membantah pendapat Rasyid, yang kemudian dibalas pula oleh Rasyid melalui majalahnya.

Setelah banyak membaca dan mendapatkan ilmu dari bacaannya terhadap buku-buku karya Syaikhul Islam, Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibn al-Qayyim, ditambah buku karya Ibn Hajar ‘az-Zawaajir ‘An Iqtiraaf al-Kabaa’ir’, Rasyid terus menentang tindakan para penyembah kuburan (Quburiyyun) dari kalangan aliran Tasawuf dan lainnya.

Ia pun telah mengkaji secara seksama buku karangan al-Alusi, ‘Jalaa’ al-‘Ainain Fii Muhaakamati al-‘Ahmadiin’. Buku ini menyadarkannya mengenai penyebab-penyebab terjadinya penyimpangan aliran Tasawuf dan betapa jernihnya dakwah Syaikhul Islam. Ia menyadari, bahwa ucapan-ucapan al-Haitsami dan ulama Tasawuf (kaum Sufi) lainnya tidak lain hanya terbit dari hawa nafsu dan bualan kaum Sufi semata.!!

Semoga Allah, merahmati Syaikh Muhammad Rasyid Ridha, Sang reformis besar atas apa yang telah dipersembahkan dan dilakukannya dalam menasehati dan membongkar kedok kaum Sufi.

Semoga Allah menerima taubatnya dan mema’afkan ketergelincirannya. Wa Shallallahu ‘ala Sayyidina Muhammad, Wa Alihi Wa Shahbihi Wa Sallam.

Ditulis oleh Abu ‘Umar al-Manhaji, dari situs, ad-difa’ ‘an as-Sunnah. (AH)

Label:


Baca Selengkapnya...!

IMAM AL-BAIHAQI

Imam al-Haramain, al-Juwaini terkenal dengan ucapannya yang demikian masyhur,“Tidak ada seorang pun yang bermazhab Syafi’i melainkan berhutang budi kepada Imam asy-Syafi’i kecuali Abu Bakar al-Baihaqi, sebab justeru Imam asy-Syafi’i-lah yang berhutang budi kepadanya.”

Imam adz-Dzahabi berkata, “Sesungguhnya Imam al-Baihaqi adalah orang pertama yang mengumpulkan seluruh teks-teks imam asy-Syafi’i.”

Ucapan adz-Dzahabi ini menurut ulama diarahkan kepada penilaian sejauh mana pendalaman dan upaya pencapaian dalam pengumpulan dalil-dalil dan perkataan-perkataan Imam asy-Syafi’i yang dilakukannya. Sebab bila dari sisi yang lain, al-Baihaqi bukanlah orang pertama yang mengumpulkan teks-teks imam asy-Syafi’i secara mutlak. Hal ini disiratkan oleh Imam as-Subki dalam bantahannya terhadap ucapan imam adz-Dzahabi sebagaimana disebutkan dalam Thabaqat asy-Syafi’iyyah.

I. Siapa Imam al-Baihaqi

Ia adalah Imam al-Hafizh, al-‘Allamah, Syaikh dari Khurasan, Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin ‘Ali bin Musa al-Khasrujardi al-Baihaqi, pemilik banyak karya tulis, orang terdepan di zamannya dan abadnya dan al-Hafizh di masanya. Ia termasuk salah seorang murid senior Abu Abdillah al-Hakim. Oleh karena itu, bila ia menyebutkan secara lepas, Abu Abdillah al-Hakim dalam periwayatan-periwayatannya, maka yang dimaksudnya adalah syaikh (guru)nya, al-Imam al-Hakim dimana ia meriwayatkan darinya lebih dari sepuluh ribu riwayat.

Bisa jadi, sebab kecenderungannya kepada mazhab Syafi’i adalah karena terkesan dengan syaikhnya, Abu Abdillah tersebut. Di samping, karena mazhab Syafi’i memiliki pijakan-pijakan yang kokoh. Hal ini dikatakan oleh al-Baihaqi dalam kitabnya, Ma’rifat as-Sunan Wa al-Atsar, “Lalu aku mendapati imam asy-Syafi’i rhm orang yang paling mengikuti sunnah daripada mereka (para ulama yang lain-red), paling kuat hujjahnya dan paling shahih qiyasnya…”

Di antara ulama yang ia ambil dalam mazhab asy-Syafi’i adalah Abu al-Fath, Nashir bin Muhammad al-‘Umari al-Mirwazi, dan ulama selainnya.

Al-Baihaqi mumpuni dalam mazhab Syafi’i dan terkenal di kalangan sahabat-sahabatnya, sampai-sampai ia dinilai sebagai salah seorang pendukung terbesar mazhab Syafi’i dan ulama terkemukanya. Ia dilahirkan pada bulan Sya’ban, tahun 384 H.

II. Syaikh-Syaikhnya

1. Abu al-Hasan, Muhammad bin al-Husain al-‘Alawi. Ia merupakan Syaikhnya yang paling senior.
2. Abu Thahir, Muhammad bin Muhammad bin Mahmasy az-Ziyadi.
3. Abu Abdillah, al-Hafizh al-Hakim.
4. Abu Abdirrahman as-Sullami.
5. Abu Bakar bin Faurik.
6. Abu ‘Ali ar-Rudzbari.
7. Abu Bakar al-Hiri.
8. Ishaq bin Muhammad bin Yusuf as-Susi.
9. Ali bin Muhammad bin Ali as-Saqqa’.
10. Abu Zakaria al-Muzakki.
11. Abu al-Husain bin Bisyran.
12. Abdullah bin Yahya as-Sukkari.
13. Abu al-Husain al-Qaththan.
14. Abu Abdillah bin Nazhif.
15. Al-Hasan bin Ahmad bin Firas, dan lainnya.

Jumlah syaikh-syaikhnya mencapai seratusan orang.

Allah SWT telah memberkahi waktunya, riwayat-riwayatnya dan tindak-tanduknya yang baik di dalamnya (periwayatan). Ia berhasil menjadikan indah bab-bab, para perawi, lafazh-lafazh dan matan-matannya. Di antaranya adalah seperti terdapat dalam kitab as-Sunan al-Kubra.

III. Murid-Muridnya

Ia juga memiliki banyak murid, di antaranya yang masyhur adalah cucunya, Abu al-Hasan, Ubaidullah bin Muhammad bin Abu Bakar; Abu Abdillah al-Farawi; Zahir bin Thahir asy-Syahhami; Abdul al-Jabbar bin Muhammad al-Hiwari; saudaranya, Abdul Hamid bin Muhammad; Abu al-Ma’ali, Muhammad bin Isma’il al-Farisi; Abdul Jabbar bin Abdul Wahhab ad-Dahhan; dan ulama lainnya.

IV. Karya-Karyanya

Ada orang yang mengatakan, karya-karyanya mencapai ribuan juz. Dua orang Hafizh sempat mendengar hadits darinya, yaitu al-Hafizh Ibn ‘Asakir dan Ibn as-Sam’ani.

Ia tinggal sebentar di Baihaq untuk menulis kitab-kitabnya. Ia adalah orang pertama yang mengumpulkan teks-teks asy-Syafi’i dengan berupaya mendapatkan sebanyak-banyaknya dan menelusuri himpunan-himpunannya. Ia berhujjah terhadap itu dengan dalil al-Kitab dan as-Sunnah.

Di antara buku-bukunya itu adalah:

1. Manaqib asy-Syafi’i (satu jilid).
2. Manaqib Ahmad. Dalam satu jilid.
3. Kitab al-Madkhal Ila as-Sunan al-Kabir.
4. Kitab al-Ba’ts wa an-Nusyur (satu jilid).
5. Kitab az-Zuhd al-Kabir (jilid ukuran sedang).
6. Kitab al-I’tiqad (satu jilid).
7. Kitab ad-Da’awat al-Kabir.
8. Kitab ad-Da’awat ash-Shaghir.
9. Kitab al-Asra.
10. Al-Qira’ah Khalf al-Imam.
11. Kitab at-Targhib wa at-Tarhib.
12. Kitab al-Adab.
13. Kitab al-Isra’.
14. Kitab al-Khilafiyyat. (Dua jilid).
15. Kitab al-Arba’in. Dan karya-karya lainnya.

V. Pujian Para Ulama Terhadapnya

Abdul Ghafir berkata, “Beliau mengikuti cara para ulama, puas dengan hal yang sedikit di dunia, mempercantik diri dengan kezuhudan dan kewaraannya.”

Imam al-Haramaian, al-Juwaini berkata, ““Tidak ada seorang pun yang bermazhab Syafi’i melainkan berhutang budi kepada Imam asy-Syafi’i kecuali Abu Bakar al-Baihaqi, sebab justeru Imam asy-Syafi’i-lah yang berhutang budi kepadanya melalui karya-karyanya dalam mendukung mazhabnya.”

Muhammad bin Abdul Aziz al-Mirwazi berkata, “Aku bermimpi seakan ada tabut (kotak) yang naik ke langit di atasnya cahaya. Lalu aku bertanya, ‘Apa ini.?’ Ia menjawab, ‘Ini adalah karya-karya Ahmad al-Baihaqi.’”

Adz-Dzahabi berkata, “Ilmunya diberkahi karena niatnya baik, pemahaman dan hafalannya kuat. Ia menulis buku-buku yang belum pernah dikupas oleh orang sebelumnya.”

Ibn Nashir ad-Din berkata, “Ia merupakan orang nomor satu di zamannya, dan nomor satu di tengah teman-temannya dari sisi hafalan, ketekunan, keterpercayaan dan rujkan.” (al-Ansab:101)

As-Subki berkata, “Imam al-Baihaqi merupakan salah seorang imam kaum Muslimin, penuntun mereka, penyeru kepada tali Allah yang kuat, ahli fiqih yang mulia, hafizh besar, ahli ushul, ahli nahwu, ahli zuhud, wara’, ahli ibadah kepada Allah, pembela mazhabnya baik secara ushul maupun furu’nya dan salah satu ‘gunung’ ilmu. Ia mengambil fiqih dari Nashir al-‘Umari, membaca tentang ilmu kalam berdasarkan mazhab al-Asy’ari, kemudian sibuk dengan aktifitas mengarang setelah menjadi salah satu orang nomor satu di masanya, satria di medannya, ahli hadits yang mumpuni, memiliki akal yang tajam, pemahaman yang cepat dan memiliki sifat yang baik.”

VI. Wafatnya

Beliau wafat pada tanggal 10 Jumadil Ula, tahun 458 H. Ia diangkut di dalam peti, lalu dikuburkan di Baihaq, yaitu pinggiran di kota Naisaburia selama dua hari, sedangkan Khasrojard adalah ibukotanya. (AHS)

Label:


Baca Selengkapnya...!

Senin, Januari 05, 2009

Ketika Santri Membaca "Kitab Kehidupan"

Ketika Santri Membaca "Kitab Kehidupan"

Oleh: Ahmad Tohari

Faisal kamandobat, seorang "Gus" dari pesantren Cigaru, Majenang Kabupaten Cilacap suatu hari bilang kepada saya. Katanya, sebagai santri dia selalu diajak masuk ke dalam kehidupan masa lalu. Kehidupan di zaman abad pertengahan. Faisal tidak asal omong, sebab bacaan wajib para santri adalah kitab-kitab yang ditulis ratusan tahun yang lalu. Kitab-kitab tersebut, baik yang menyangkut fikih, kalam, tafsir, maupun politik tentu mewakili nafas zamannya. Ya, nafas zaman ketika para cendekia Islam berbicara dari mimbar masanya tentang jalan keselamatan jauh di masa depan, jauh di seberang sejarah.

Faisal merasa dalam pelajaran pesantren dia tidak menemukan pengetahuan kemanusiaan yang nyata, yang benar-benar menjadi realita hari ini dan di sini. Yang mendominasi topik bahasan adalah ilmu agama yang dipahami dengan kacamata masa lalu dan dipelajari untuk menggapai kebahagiaan di seberang kehidupan dunia. Lalu kapan orang akan punya perhatian terhadap kehidupan nyata yang benar-benar sedang dihadapi saat ini? Padahal kekini dan di sini-an adalah ruang sejarah di mana kita hadir dan harus mengaktualisasikan diri. Kekini dan di sini-an adalah ruang historis di mana kita sama sekali tidak bisa mengingkarinya.

Mungkin karena ingin mengembangkan kesadaran historis itulah Gus Faisal merambah dan membaca kehidupan nyata tanpa harus kehilangan identitas kesantriannya. Dia baca buku apa saja terutama sastra dan filsafat. Dia jelajahi kelompok manusia yang ada dalam realitas kekinian. Dia bergabung dengan manusia lintas budaya, lintas agama, lintas strata sosial. Dalam kesantriannya, Faisal ingin membaca dan menyelami realitas hidup sekarang. Hasilnya, Faisal jadi sastrawan. Kini Faisal Kamandobat sudah mendapat pengakuan sebagai seorang penyair, cerpenis, esais, yang karya-karyanya bertebaran di media massa. Seorang santri telah fasih membaca bukan hanya "kitab" melainkan juga "kitab" yang terbuka di depan mata kita: Kehidupan Nyata.

Sastra hadir dan mengembangkan diri dalam ranah makna. Sastra tidak lagi berbicara tentang ajaran formal. "Agama" dalam sastra adalah nilai-nilai akhlakul karimah sebagai pertanggungjawaban kepada peradaban yang mengembangkan kemaslahatan manusia dan alam yang mendukung kehidupannya. Maka komitmen sastra adalah keberpihakan kepada nilai tanggung jawab, kasih sayang, keadilan, kejujuran; pokoknya seluruh nilai keterpujian. Komitmen ini akan menjadi semangat bagi seorang sastrawan untuk berkarya, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Wallahu A'lamu Bishshawab...!!!

Label:


Baca Selengkapnya...!

Bait-Bait Jiwaku

Bait-Bait Jiwaku
Oleh: Syarif Istifham

Lirih jiwaku berbisik padaku
Saat gelap malam selimutiku
Wahai insan yang lemah…
Inilah saatnya engkau pasrah

Mengadu dan mengeluh padaNya
Merunduk dan menyembah padaNya
Mengharap akan maghfirah dariNya
Meminta belaskasih serta hidayahNya

Desir angin membelai mesra tubuhku
Saat sang fajar mulai terbit menyapaku
Mengisyaratkan terang kan segera tiba
Bersama kehangatan yang ia bawa

Lirih jiwaku berbisik padaku
Saat sang mentari senyum padaku
Duhai jiwa yang terlelap…
Kini cahaya telah kau tatap

Sudah saatnya engkau tegak berdiri
Melangkahkan kaki lalu kemudian lari
Mengejar impian serta cita-citamu
Agar orangtuamu bangga denganmu

Ketika suatu saat nanti engkau kembali
Maka tak ada lagi yang perlu engkau sesali
Karena semua yang ada sudah berlalu
Hanya Allah yang tak akan pernah berlalu

Kairo, 12 Dzulhijjah 1429 H

Label:


Baca Selengkapnya...!

Selamat Tahun Baru 1430 H

Selamat Tahun Baru 1430 H

Tak terasa waktu begitu cepat bergulir menggilas apa saja yang ada di depannya. Semuanya akan lenyap dimakan oleh waktu, tak pandang itu keras tak pandang lunak, semuanya akan musnah. Begitu pula waktu itu sendiri. Karena tak ada yang abadi kecuali yang diabadikan oleh Dzat yang maha abadi, yaitu Allah. Seperti halnya malaikat Izrail yang tugasnya mencabut nyawa sekian banyak makhluk hidup yang ada di bumi dan di langit, ia pun akan mati nantinya.

Sekian banyak kejadian-kejadian yang mengitari kita di sela-sela waktu yang sudah terlewatkan oleh kita, hanyalah merupakan media Tuhan untuk memperkenalkan diriNya kepada kita, bahwa hanya Dia yang tak terjamah oleh waktu, yang tak terpengaruh oleh keadaan, dan yang tak tersentuh oleh perubahan. Karena setiap kita, lingkungan di sekitar kita, langit, bumi, dan segala isinya pasti tak akan lepas dari perubahan.

Perubahan adalah sifat makhluqiyah yang paling asasi, karena melalui perubahan inilah bisa dibedakan mana yang hadits dan mana yang qadim, mana yang makhluq dan mana yang khaliq. Sebagaimana logika dalam ilmu mantiq, yaitu "Alam itu berubah dan setiap yang berubah adalah baru. Kesimpulannya, alam itu baru." Sedangkan sifat sang khaliq adalah tsabit/tetap dan setiap yang tetap adalah qadim. Kesimpulannya sang khaliq itu qadim. Itulah perbedaan antara ciptaan dan penciptanya.

Oleh karena itu, di tahun yang baru ini marilah kita bersama-sama berdo'a memohon kepada Tuhan semoga Dia senantiasa menolong dan memudahkan kita dalam melakukan sebuah perubahan ke arah yang lebih baik, senantiasa memberi kesabaran kepada kita di dalam menjalani proses perubahan ini. Amien...!!! Dan akhirnya, saya mengucapkan kepada seluruh umat muslim di dunia ***SELAMAT TAHUN BARU HIJRIYAH 1430 H***

"Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum (ke arah yang lebih baik) sebelum mereka mau merubah diri mereka sendiri". Terjemah bebas QS. Ar-ra'du ayat 11.

Kairo, 1 Muharram 1430 H

Baca Selengkapnya...!

Kepinding, Maafkan Aku

Oleh: Syarif Istifham

Dalam kamus besar bahasa indonesia kepinding diartikan sebagai: kutu pengisap darah manusia, berwarna merah, biasa hidup di sela-sela tempat duduk atau tempat tidur (kursi, tikar, dipan, dsb); kutu busuk; Cimex rotundanus. Setelah kita tahu apa itu kepinding, mari kita berdiam sejenak untuk sekedar membaca tulisanku tentang kepinding.

Bermula dari hobiku, yang mungkin, berbeda dari hobi teman-teman yang lain. Hobiku ini bisa dibilang aneh, tapi ini kenyataannya. Tidur alias molor, itulah hobiku, sejak aku masih di pondok sampai sekarang, sedangkan teman-temanku yang lain banyak yang jadi aktifis, karena sering aktif di berbagai organisasi, aku juga bisa dibilang begitu. Cuma gelarku lain dengan gelar mereka. Aku bisa dibilang aktifis, karena aku aktif di atas kasur empuk dan berteman bantal guling. Oleh sebab itulah aku mentakrifi aku sendiri sebagai "Sang Pemimpi Sejati" di friendsterku. Maklum, aku gak bisa mencari kata-kata lain yang lebih pantes dari itu.

Di saat aktifitasku ini sedang berlangsung tak ada yang boleh menggangguku, siapapun atau apapun itu. Itulah sebabnya kenapa aku sebel banget sama makhluk yang namanya "kepinding". Entah sudah berapa ekor kepinding yang mati ditanganku, aku tak sempat menghitungnya. Tapi yang jelas, aku sudah lega bisa menghabisi musuh-musuhku yang selalu mengganggu tidurku. Namun di kemudian hari, mulai terpikir dibenakku, apa sih sebenarnya hukum membunuh hewan yang dalam tanda petik sering mengganggu kita, kaum manusia? Dosa apa bukan?.

Kemudian muncul dua jawaban dari dalam diriku sendiri. Yang pertama, nggak apa-apa. Toh, kamu kan cuma membela diri dari serangan mereka. Jadi hukum membunuh mereka ya boleh-boleh aja donk!tapi setelah aku pikir-pikir lagi, muncul jawaban yang kedua; mereka ini juga ciptaan allah, yang juga berhak untuk hidup sama seperti kamu. kenapa kamu mau menang sendiri? Allah menjadikan kamu sebagai wakilnya di bumi ini kan bukan untuk menang sendiri, kemana akalmu ketika itu? Padahal hanya dengan akal itulah, kamu lebih mulia dibanding mereka.

Aku hanya bisa terdiam seribu bahasa, setelah kutanya dan kujawab sendiri kata-kataku. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi, karena aku merasa bersalah sudah melenyapkan nyawa berpuluh-puluh atau bahkan beratus-ratus ekor kepinding. Aku sudah berbuat kerusakan di muka bumi ini. Kalau seandainya nanti di akhirat, mereka minta pertanggungjawaban dariku, aku tak bisa berkilah, karena memang kenyataanya aku yang sudah membunuh mereka. Saat ini aku cuma bisa beristighfar, berharap Allah yang menciptakan dan memiliki nyawa-nyawa mereka, termasuk nyawa yang sekarang berada dalam diriku, berkenan mengampuni hambanya yang telah aniaya ini. Wallahu a'lam bi ash-shawab...!!!

Kairo, 16 Nov 2008

Label:


Baca Selengkapnya...!