Jumat, Juni 26, 2009

Kemuliaan Laki-laki Dan Perempuan

Kemuliaan Laki-laki Dan Perempuan (Kajian Analitik Kitab Alfiyah Ibnu Malik)
Oleh: Syarif Istifham

Dalam salah satu bait alfiyah dijelaskan bahwa amil yang me-rafa'kan mubtada' adalah amil ma'nawi ibtida', sedangkan yang me-rafa'kan khobar adalah mubtada'nya."Warafa'u mubtadaan bil ibtida' # Kadzaka Raf'u Khobarin bil mubtada'".

Pada paragraf di atas saya sudah menjelaskan arti secara harfiyah dari bait kitab alfiyah tersebut. Mungkin dari salah seorang pembaca ada yang belum tahu apa itu mubtada', apa itu khobar, dan apa itu amil. Untuk itu alangkah lebih baiknya saya menjelaskan terlebih dahulu definisi/pengertian dari masing-masing istilah tersebut.

Dalam kajian ilmu nahwu (ilmu gramatika bahasa arab) ada beberapa istilah yang harus diketahui dan dipahami betul oleh kalangan pengkaji ilmu tersebut, semisal Fi'il (kata kerja), Fa'il (pelaku pekerjaan), Mubtada' (kata/kalimat inti), Khobar (Kata/Kalimat pelengkap). Rasanya susah menjelaskan tata bahasa arab dengan menggunakan istilah-istilah dalam bahasa indonesia, karena memang keduanya tidak sama satu sama lain. Tapi saya akan mencoba menjelaskannya dengan bahasa yang singkat dan mudah dipahami. Insyaallah.

Fi'il Fa'il dan Mubtada' khobar kalau di dalam bahasa indonesia biasa dikenal dengan istilah kalimat majemuk (kalimat yang memiliki dua klausa atau lebih yang antarklausanya dihubungkan dengan konjungsi setara atau bertingkat). Atau juga bisa dipahami dengan subjek dan predikat. Contoh Fi'il Fa'il Misalnya; Muhammad (sudah, sedang, atau akan) berdiri. Kalimat tersebut apabila diungkapkan menggunakan bahasa arab menjadi Qoma/Yaqumu Muhammadun dengan didlommah akhirnya yaitu bunyi "dun" (dirafa'kan). Bukan dinashabkan "dan", ataupun dijarkan "din". Karena dalam kaidah ilmu nahwu fa'il/subjek hukumnya adalah dirafa'kan. Nah, yang merafa'kan ini dinamakan dengan "'Amil". Adapun amil itu sendiri terbagi menjadi dua; yaitu amil lafdzi (bisa diucapkan) dan amil ma'nawi (tidak bisa dilihat maupun diucapkan, adanya hanya di dalam hati).

Baru saja saya menjelaskan bahwa yang merafa'kan Fa'il adalah amil. Amil ada dua, ada yang lafdzi dan ada juga yang ma'nawi. Lalu, 'amil yang manakah yang meraf'akan Fa'il? Jawabnya, sebagaimana yang ada dalam kaidah nahwu, adalah amil lafdzi. Amil lafdzi di sini adalah Fi'ilnya Fa'il tersebut. Jadi kesimpulannya adalah bahwa yang merafa'kan Fa'il adalah fi'ilnya sendiri. Sama halnya dengan Fai'il, Mubtada juga hukumnya dirafa'kan. Hanya saja yang merafa'kannya tidak sama dengan yang merafa'kan Fa'il. Karena yang merafa'kan mubtada adalah 'amil ma'nawi, yaitu amil ma'nawi ibtida'. Tidak seperti halnya Fa'il yang dirafa'kan oleh amil lafdzi.

Adapun contoh mubtada khobar ialah "Muhammadun 'Alimun" (Muhammad itu orang yang tahu), dengan dirafa'kannya kata "muhammadun dan 'alimun". Bukan dinashabkan "muhammadan'aliman", atau dijarkan "muhammadin'alimin". Karena sebagaimana yang telah saya jelaskan di depan bahwa hukumnya mubtada' itu sama dengan hukumnya fa'il, yaitu dirafa'kan. Adapun apa yang merafa'kan mubtada' juga sudah saya jelaskan di depan, yaitu amil ma'nawi ibtida'.

Nah, pembahasan yang sedang kita bicarakan di sini adalah tentang apa yang merafa'kan mubtada' dan yang merafa'kan khobar. Adapun maksud saya di sini bukanlah untuk menjelaskan tentang hal tersebut dari sisi harfiyahnya,akan tetapi dari sisi ma'nawiyahnya. Dalam bahasa yang lebih "nyentrik" biasa disebut dengan "pesan moral" dari bait alfiyah yang sedang kita kaji kali ini. Pesan moralnya apa?? mari kita kaji bersama-sama.

Kalau boleh saya mengibaratkanya, mubtada bagi saya ibarat seorang laki-laki, sedangkan khobar ibarat seorang perempuan. Mubtada' sebagaimana sudah kita ketahui bersama hukumnya adalah dirafa'kan. Dirafa'kan dalam terjemahan bahasa indonesia bisa diartikan dengan dimuliakan atau dijunjung tinggi. Jadi arti daripada mubtada' dan khobar itu dirafa'kan adalah bahwa keduanya mubtada' (Laki-laki) dan khobar (perempuan) sama-sama dimuliakan dan dihormati di Mata Allah. Hal ini sesuai sekali dengan Ayat Al-qur'an yang berbunyi; "Walaqod karromna bani adam...dst" (Dan sunnguh kami (Allah) benar-benar sangat memuliakan manusia).

Dengan demikian telah kita ketahui bersama bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mulia di hadapan Allah SWT. Akan tetapi kita masih belum mengetahui apa yang menyebabkan keduanya bisa mulia di hadapan Allah. Nah, dari bait alfiyah yang sedang kita kaji kali ini, kita dapat sedikit tahu bahwa yang menyebabkan laki-laki mulia adalah amil ma'nawi ibtida, yang bisa kita tafsirkan dengan "yang terdepan" atau "yang menjadi pemimpin". Sedangkan yang menjadikan perempuan mulia dan terhormat adalah mubtada', yang bisa kita tafsirkan sebagai "suami atau pimpinan". Makanya, banyak kita temukan ada istri pak haji dipanggil bu kaji, istri pak lurah dipanggil bu lurah, istri presiden dipanggil ibu negara, bahkan sampai istri-istri nabi sekalipun bisa memperoleh gelar sebesar "Ummahatul mu'minin" lantaran suami mereka, yaitu Nabi Muhammad SAW. Mereka (para istri) mulia disebabkan oleh suami-suami (mubtada') mereka. Wallahu A'lam Bishshawab.....

Kairo, Malam Jum'at 26 juni 2009

Label:


Baca Selengkapnya...!

Selasa, Juni 23, 2009

Munajat Malam

Oleh: Syarif istifham

Ya Tuhan...
Hamba tahu diri ini tak berarti apa-apa tanpa-MU
Bagaimana tidak lebih tak berarti lagi jika Engkau melenyapkannya

Ya Tuhan...
Jazad ini tak berdaya apa-apa tanpa pertolongan-Mu
Bagaimana tidak lebih tak berdaya lagi jika Engkau membinasakannya

Ya Tuhan...
Rahmat-Mu meliputi setiap apa yang ada di jagat raya ini
Bagaimana hamba tidak Engkau rahmati jika bagian darinya

Ya Tuhan...
Engkau mengiming-imingi hamba surga dan segala isinya
Bagaimana hamba tidak mengharapkan hal itu

Ya Tuhan...
Engkau menakut-nakuti hamba dengan api neraka dan siksanya
Bagaimana hamba tidak takut akan hal itu

Ya Tuhan...
Padahal Engkau memerintahkan hamba untuk menyembah-Mu
Hanya karena Engkau semata, bukan karena surga ataupun neraka

Ya Tuhan...
Engkau perintahkan hamba untuk selalu sabar
Bagaimana hamba bisa sabar dengan apa yang hamba tidak ketahui

Ya Tuhan...
Engkau perintahkan hamba untuk selalu bersyukur
Bagaimana hamba bisa syukur padahal syukur itu sendiri butuh disyukuri

Ya Tuhan...
Engkau yang maha terpuji....
Engkau yang maha tahu....
Engkau yang maha Rahman...
Engkau yang maha Rahim...

Ya Tuhan...
Hamba pasrahkan segala urusan hamba kepada-Mu
Karena hamba adalah semata-mata milik-Mu

Kairo, 22 juni 2009

Label:


Baca Selengkapnya...!

Sabtu, Juni 13, 2009

Rumah Keabadian

Oleh: Syarif Istifham

Di sana...
ada wajah-wajah yang berkilauan
menikmati warna-warni keindahan
dimana tak ada mata pernah melihat
tak ada telinga pernah mendengar
tak sekalipun terlintas dalam benak

Sungguh kenikmatan yang tiada tara
kenikmatan yang tak ada habisnya
tak satupun manusia dapat mengiranya
itulah kenikmatan yang sejati

Namun di atas semua itu
ada yang lebih menggembirakan hati
kegembiraan yang tak pernah ada sebelumnya
yaitu menatap wajah agung sang kekasih

Di sana...
ada wajah-wajah yang hitam
merasakan pedihnya bermacam-macam siksaan
siksaan yang tak akan berhenti meski sejenak
mereka tiada hidup pun tiada mati

Alangkah siksa yang sangat pedih
tak seorangpun bisa lari darinya
satu hari bagaikan seribu tahun
terus menerus tanpa ada usai

Beruntunglah golongan yang menghuni rumah yang pertama
dan celakalah golongan yang mendiami rumah yang kedua

Kairo, 13 juni 2009


Label:


Baca Selengkapnya...!

Kamis, Juni 04, 2009

Muslim Sejati

Oleh: Syarif Istifham

Seorang muslim sejati tidaklah cukup hanya dengan memperkaya diri dengan amal-amal sholeh, ritual keagamaan, dan ilmu yang banyak. Di sana ada yang jauh lebih penting dan yang sebaiknya didahulukan/prioritaskan, yaitu menjaga perasaan sesama muslim dalam arti yang seluas-luasnya. Diantaranya ialah menjaga diri dari menyakiti sesama muslim, baik lewat ucapan maupun tindakan. Karena sebagaimana yang dijelaskan oleh Baginda Rasulullah SAW, bahwa seorang muslim adalah" Man salimal muslimuna min lisanihi wayadihi", yaitu orang yang senantiasa menjaga lisan dan tangannya dari menyakiti sesama muslim.

Hadits di atas sangat masyhur sekali dikalangan orang-orang islam, khususnya orang islam yang berpendidikan baik di pesantren maupun di luar pesantren yang berbasis pendidikan agama islam. Hadits tersebut memberikan banyak pelajaran bagi kita, jika kita mau merenungi dan men-tadabburinya. Diantara pelajaran yang dapat kita ambil dari situ ialah "Menjaga dari berbuat salah itu seharusnya lebih didahulukan dari berbuat kebajikan". Keterangannya bisa jadi sangat luas, namun di sini penulis tidak perlu berpanjang lebar menjelaskannya untuk menjaga supaya pembaca sekalian tidak bosan dengan penjelasan yang panjang lebar.

Merujuk pada hadits di atas, bahwa seorang muslim yang sejati -menurut kriteria Rasul- yaitu orang yang mana siapa dan apa saja yang ada di sekelilingnya merasa aman dari kejahatannya. Artinya patokan seorang muslim yang baik adalah dilihat dari sedikit-banyaknya berbuat kedzaliman, di samping juga harus menjaga dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang sudah dibebankan (Mukallaf) Tuhan kepadanya.Bukan Malah sebaliknya, lebih mementingkan amal-amal kebajikan yang tidak seberapa nilainya dibanding menjaga hak-haknya sesama muslim. Hal ini sangat cocok sekali dengan kaidah fikih yang berbunyi; "Dar'ul mafasid muqoddamun 'ala jalbil masholih" (Menjauhi/meninggalkan kerusakan itu (seharusnya) didahulukan daripada menarik/berbuat kebaikan).

Bisa kita ambil contoh misalnya; kita hendak menghadiri majlis pengajian, tiba-tiba di tengah jalan kita menjumpai seseorang yang akan tenggelam di sungai. Menurut islam mana yang lebih diutamakan, tetap melanjutkan pergi ke pengajian atau menolong orang yang hendak tenggelam?? Jawabanya adalah menolong orang. Itu yang seharusnya didahulukan, karena menolong orang itu juga termasuk amal kebaikan, disamping juga menjaga dari kerusakan, yaitu supaya orang yang hendak tenggelam tidak jadi tenggelam. Anda bisa mengkiaskan contoh tersebut kepada segala hal yang serupa dengannya. Pilihan yang demikian sangat cocok sekali dengan firman Tuhan yang berbunyi" Faman zuhziha 'aninnari wa udkhilal jannata faqod faza" (Barang siapa yang diselamatkan dari api neraka kemudian dimasukkan ke dalam surga, maka dia adalah orang yang benar-benar beruntung).

Kita ketahui bersama bahwa pada firman Allah di atas, Dia mendahulukan "Zuhziha "aninnari" dari "Udkhilal Jannah" ini mengisyaratkan bahwa Dar'ul mafasid muqoddamun 'ala jalbil mashalih". Kiranya apa yang saya tuturkan dari ayat alqur'an dan hadits Rasul diatas sudah cukup sebagai dalil pendukung terhadap apa yang sudah saya paparkan di atas. Semoga bermanfaat! Wallahu A'alam Bishshawab....!

Kairo, 4 juni 2009

Label:


Baca Selengkapnya...!

Senin, Juni 01, 2009

Kotradiksi

Oleh: Syarif Istifham

Kontradiksi sebagaimana kita ketahui adalah pertentangan antara dua hal yg sangat berlawanan atau bertentangan (pertentangan mutlak). Sebagai contok misalnya, benar dan salah, sehat dan sakit, siang dan malam, dan lain sebagainya. Dari contoh-contoh di atas dapat kita pastikan bahwa kontradiksi antara satu dengan lainya, adalah pertentangan yang secara mutlak adanya, meskipun dilihat dari sisi manapun. Lain halnya dengan contoh berikut, saya makan dan saya tidak makan, saya minum kopi dan saya tidak minum kopi, saya pergi dan saya tidak pergi, dan yang semisalnya. Pada contoh-contoh ini tidak terdapat kontradiksi di dalamnya, meskipun sekilas-pintas seperti berlawanan. Anda tahu kenapa? Karena apabila kita mencermatinya lebih dalam. dari berbagai sisi tidak bertentangan.

Untuk lebih jelasnya, mari kita teliti bersama, kita renungkan bersama, dan kita perhatikan secara seksama. Saya makan dan saya tidak makan, kalimat ini benar adanya, karena di sana tidak disebutkan obyeknya, makan apa, bisa yang dimaksud makan apel, jeruk, pelem atau yang lainnya. Kalimat yang kedua juga sama-sama tidak disebutkan obyeknya, bisa jadi tidak makan apel, tapi makan jeruk, atau tidak makan jeruk tapi makan pelen. Jadi, di sana sama sekali tidak ada kontradiksi sebagaimana yang telah saya jelaskan sebelumnya. Kemudian untuk contoh yang kedua, saya minum kopi dan saya tidak minum kopi, pada contoh ini memang sudah disebutkan obyeknya, akan tetapi belum disebutkan kapan waktunya, dimana tempatnya, dan bagaimana caranya. Jadi contoh ini tidak salah, karena bisa jadi yang pertama minum kopi sambil berdiri, dan yang kedua saya tidak minum kopi sambil berdiri, dan seterusnya. Silahkan anda mengiaskannya sendiri.

Definisi kontradiksi diatas itulah yang menjadi patokan/pedoman oleh para mufassirin (ahli menafsirkan al-qur'an dan hadist) khususnya mufassir ahlussunnah wal jama'ah ketika mensikapi ayat-ayat al-qur'an atau hadits-hadits rasulullah yang dzahirnya sekilas-pintas kontradiksi, namun sebenarnya tidak. Bahkan hal itu tergolong keindahan bahasa al-qur'an dan hadits. Satu contoh misalnya, Ayat yang berbunyi "Innallaha la yughoyyiru ma biqaumin hatta yughoyyiru ma bi anfusihim" dengan ayat "Wallahu kholaqokum wama ta'malun". Sekilas dua ayat di atas bertentangan/kontradiksi, karena yang satu mengisyaratkan bahwa pekerjaan seorang hamba adalah mutlak dia yang mengerjakan, dan yang kedua mengisyarakan bahwa perkerjaan seorang hamba adalah semata-mata allah yang mengerjakan, dia ibarat seorang wayang yang tidak bisa berbuat apa-apa tanpa adanya seorang dalang yang menggerakkannya.

Nah, berangkat dari kedua ayat di atas terjadi perbedaan pendapat tentang si empunya pekerjaan, apakah allah ataukah hamba. Kaum mu'tazilah berpendapat bahkan pekerjaan hamba mutlak hamba yang memiliki, sedangkan ahlussunnah wal jama'ah berpendapat bahwa Allah lah semata yang memiliki pekerjaan itu, karena Allah lah pemilik segalanya. Lalu mana yang benar? wallahu a'lam. Masing-masing memiliki dasar sendiri-sendiri. Namun penulis lebih cenderung memilih pendapat ahlussunnah wal jama'ah, dengan memakai pedoman kontradiksi di atas.
Yaitu, kedua ayat di atas tidak bertentangan sejatinya, dengan pertimbangan sebagai berikut; Ayat pertama memang mengisyaratkan bahwa pekerjaan hamba itu hamba yang mengerjakan, namun perlu diketahui bahwa pekerjaan itu tidak akan terwujud tanpa adanya anggota tubuh, kekuatan, dan perangkat lainnya. Dan semua perangkat itu allah yang membuatnya, jadi pada hakikatnya Allah lah yang membuat dan memiliki pekerjaan seorang hamba. Walhasil, ayat yang pertama menyatakan pekerjaan hamba dari sisi syari'at/dzhair dan ayat yang kedua menyatakan pekerjaan hamba dilihat dari sisi hakikat. Jadi, kedua ayat di atas tidak bertentangan.

Masih banyak sekali ayat-ayat yang sekilas bertentangan dengan ayat lainnya, atau ayat dengan hadits nabi. Semuanya tidak ada kontradiksi di sana, yang ada hanyalah keindahan bahasa al-qur'an dan hadits dalam menyampaikan pesan-pesannya kepada ummat manusia. Subhanallah...!! Oleh karena itu, kita sebagai ummat islam tidak boleh gegabah dalam memahami al-qur'an maupun hadits, harus dengan kaidah-kaidah yang benar supaya pemahaman kita nantinya sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh sang pemilik kalam. Wallahu A'lam Bishshawab....

Kairo, 01 juni 2009

Label:


Baca Selengkapnya...!