Selasa, Januari 27, 2009

KH. M. HASYIM ASY'ARI


Jombang l933. Terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama
besar, KH Muhammad Hasyim Asy'ari dengan KH Mohammad Cholil,
gurunya. "Dulu saya memang mengajar Tuan. Tapi hari ini, saya
nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan," kata Mbah Cholil, begitu
kiai dari Madura ini populer dipanggil. Kiai Hasyim menjawab,
"Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru
pada saya, seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan
juga sekarang. Bahkan, akan tetap menjadi murid Tuan Guru
selama-lamanya. " Tanpa merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap
bersikeras dengan niatnya. "Keputusan dan kepastian hati kami
sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami akan
turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru
kepada Tuan," katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya,
Kiai Hasyim tidak bisa berbuat lain selain menerimanya sebagai
santri.

Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya
cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling
mendahului, karena hendak memasangkan ke kaki gurunya.

Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid akhirnya lebih
pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kiai Hasyim juga Kiai Cholil; adalah kemuliaan
akhlak. Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling
menghormati, dua hal yang sekarang semakin sulit ditemukan pada
para murid dan guru-guru kita.

Mbah Cholil adalah kiai yang sangat termasyhur pada jamannya.
Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal
pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin Pesantren
Kademangan, Bangkalan Madura ini.

Sedangkan Kiai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja
ia pendiri sekaligus pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh
sangat kuat kepada kalangan ulama, tapi juga lantaran ketinggian
ilmunya. Terutama, kakek Abdurrahman Wachid (Gus Dur) ini
terkenal mumpuni dalam ilmu Hadits. Setiap Ramadhan Kiai Hasyim
punya 'tradisi' menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim selama
sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian ummat Islam.

Maka tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di
Indonesia, termasuk mantan gurunya sendiri, Kiai Cholil. Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kiai Hasyim. Setelah lulus dari
Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kiai Hasyim kemudian
tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH
Abdul Wahab Chasbullah, KH Bisri Syansuri, KH. R. As'ad Syamsul
Arifin, Wahid Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Siddiq adalah
beberapa ulama terkenal yang pernah menjadi santri Kiai Hasyim.

Tak pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling
besar dan paling penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis
buku 'Tradisi Pesantren', mencatat bahwa pesantren Tebuireng
adalah sumber ulama dan pemimpin lembaga-lembaga pesantren di
seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para pengikutnya kemudian
memberi gelar Hadratus-Syekh (tuan guru besar) kepada Kiai
Hasyim.

Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim
menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang
berusaha untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi
bintang jasa pada tahun 1937, tapi ditolaknya.

Justru Kiai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan. Pertama,
ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih
melawan penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kiai Hasyim juga
pernah mengharamkan naik haji memakai kapal Belanda. Fatwa
tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan disiarkan oleh Kementerian
Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas (penguasa Belanda)
menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.

Namun sempat juga Kiai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada
l942. Tidak jelas alasan Jepang menangkap Kiai Hasyim. Mungkin,
karena sikapnya tidak kooperatif dengan penjajah. Uniknya, saking
khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta ikut
dipenjarakan bersama kiainya itu.

Mendirikan NU
------------ -
Kemampuannya dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syekh
Mahfudh at-Tarmisi di Mekkah. Selama 7 tahun Hasyim berguru
kepada Syekh ternama asal Pacitan, Jawa Timur itu. Disamping
Syekh Mahfudh, Hasyim juga menimba ilmu kepada Syekh Ahmad Khatib
al-Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kiai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim
Asy'ari dan KH Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.

Yang perlu ditekankan, saat Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad
Abduh sedang giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan
pemikiran Islam. Dan sebagaimana diketahui, buah pikiran Abduh
itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat Islam
selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide
reformasi Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari
Mesir, telah menarik perhatian santri-santri Indonesia yang
sedang belajar di Mekkah. Termasuk Hasyim tentu saja.

Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang
sebenarnya bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan
kembali doktrin Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan-
kebutuhan kehidupan modern; dan keempat, mempertahankan Islam.
Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk memenuhi
kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam
dapat memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam
lapangan sosial, politik dan pendidikan. Dengan alasan inilah
Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat
Islam meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syekh Ahmad
Khatib mendukung beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda
dalam beberapa hal. Beberapa santri Syekh Khatib ketika kembali
ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide Abduh itu. Di
antaranya adalah KH Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah.

Tidak demikian dengan Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima ide-ide
Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak
pikiran Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan
mazhab. Ia berkeyakinan bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami
maksud yang sebenarnya dari ajaran-ajaran al-Qur'an dan Hadist
tanpa mempelajari pendapat-pendapat para ulama besar yang
tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan al-Qur'an dan
Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab
hanya akan menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran
Islam yang sebenarnya, demikian tulis Dhofier. Dalam hal
tarekat, Hasyim tidak menganggap bahwa semua bentuk praktek
keagamaan waktu itu salah dan bertentangan dengan ajaran Islam.
Hanya, ia berpesan agar ummat Islam berhati-hati bila memasuki
kehidupan tarekat.

Dalam perkembangannya, benturan pendapat antara golongan
bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering disebut
kelompok tradisional) , dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu
memang kerap tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al
Islam IV yang diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan
dalam rangka mencari masukan dari berbagai kelompok ummat Islam,
untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di Mekkah.

Karena aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di
antaranya: tradisi bermazhab agar tetap diberi kebebasan,
terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam Rasulullah
sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite
Hijaz. Komite yang dipelopori KH Abdullah Wahab Chasbullah ini
bertugas menyampaikan aspirasi kelompok tradisional kepada
penguasa Arab Saudi. Atas restu Kiai Hasyim, Komite inilah yang
pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama (NU) yang
artinya kebangkitan ulama.

Setelah NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat.
Terbukti, pada l937 ketika beberapa ormas Islam membentuk badan
federasi partai dan perhimpunan Islam Indonesia yang terkenal
dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia) Kiai Hasyim
diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai
politik Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Keturunan Raja Pajang
------------ ---------
Lahir 24 Dzul Qaidah 1287 Hijriah atau 14 Februari l871 Masehi,
Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Dari garis ibu,
Halimah, Hasyim masih terhitung keturunan ke delapan dari Jaka
Tingkir alias Sultan Pajang, raja Pajang. Namun keluarga Hasyim
adalah keluarga kiai. Kakeknya, Kiai Utsman memimpin Pesantren
Nggedang, sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kiai
Asy'ari, memimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan
Jombang. Dua orang inilah yang menanamkan nilai dan dasar-dasar
Islam secara kokoh kepada Hasyim.

Sejak anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang
sudah nampak. Di antara teman sepermainannya, ia kerap tampil
sebagai pemimpin. Dalam usia 13 tahun, ia sudah membantu ayahnya
mengajar santri-santri yang lebih besar ketimbang dirinya. Usia
15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya, berkelana
memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula
ia menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian
pindah ke Pesantren Langitan, Tuban. Pindah lagi Pesantren
Trenggilis, Semarang. Belum puas dengan berbagai ilmu yang
dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren Kademangan, Bangkalan di
bawah asuhan Kiai Cholil.

Tak lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan,
Sidoarjo. Di pesantren yang diasuh Kiai Ya'qub inilah, agaknya,
Hasyim merasa benar-benar menemukan sumber Islam yang diinginkan.
Kiai Ya'qub dikenal sebagai ulama yang berpandangan luas dan alim
dalam ilmu agama. Cukup lama --lima tahun-- Hasyim menyerap ilmu
di Pesantren Siwalan.

Dan rupanya Kiai Ya'qub sendiri kesengsem berat kepada pemuda
yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat ilmu,
melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan
dengan Chadidjah, salah satu puteri Kiai Ya'qub. Tidak lama
setelah menikah, Hasyim bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna
menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan di sana, Hasyim kembali ke
tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.

Tahun 1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia
menetap di Mekkah selama 7 tahun. Tahun l899 pulang ke Tanah Air,
Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kiai Usman. Tak lama
kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim bukan
saja kiai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang
yang sukses. Tanahnya puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu,
biasanya Kiai Hasyim istirahat tidak mengajar. Saat itulah ia
memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya berdagang
kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan
berdagang itulah, Kiai Hasyim menghidupi keluarga dan
pesantrennya.

Dari perkawinannya dengan Mafiqah, putri Kiai Ilyas, Kiai Hasyim
dikarunia 10 putra: Hannah, Khoriyah, Aisyah, Ummu Abdul Hak
(istri Kiai Idris), Abdul Wahid, Abdul Kholik, Abdul Karim,
Ubaidillah, Masrurah dan Muhammad Yusuf. Wafat 25 Juli 1947.
Atas jasa-jasanya pemerintah mengangkatnya sebagai Pahlawan
Nasional.

--- *** ---
Sumber: Milis "NUMESIR"

Label:

1 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

trims infonya, pengen bisa kuliah di mesir juga

Kamis, 16 September, 2010  

Posting Komentar

Apa komentarmu...??

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda