Senin, Januari 05, 2009

Ketika Santri Membaca "Kitab Kehidupan"

Ketika Santri Membaca "Kitab Kehidupan"

Oleh: Ahmad Tohari

Faisal kamandobat, seorang "Gus" dari pesantren Cigaru, Majenang Kabupaten Cilacap suatu hari bilang kepada saya. Katanya, sebagai santri dia selalu diajak masuk ke dalam kehidupan masa lalu. Kehidupan di zaman abad pertengahan. Faisal tidak asal omong, sebab bacaan wajib para santri adalah kitab-kitab yang ditulis ratusan tahun yang lalu. Kitab-kitab tersebut, baik yang menyangkut fikih, kalam, tafsir, maupun politik tentu mewakili nafas zamannya. Ya, nafas zaman ketika para cendekia Islam berbicara dari mimbar masanya tentang jalan keselamatan jauh di masa depan, jauh di seberang sejarah.

Faisal merasa dalam pelajaran pesantren dia tidak menemukan pengetahuan kemanusiaan yang nyata, yang benar-benar menjadi realita hari ini dan di sini. Yang mendominasi topik bahasan adalah ilmu agama yang dipahami dengan kacamata masa lalu dan dipelajari untuk menggapai kebahagiaan di seberang kehidupan dunia. Lalu kapan orang akan punya perhatian terhadap kehidupan nyata yang benar-benar sedang dihadapi saat ini? Padahal kekini dan di sini-an adalah ruang sejarah di mana kita hadir dan harus mengaktualisasikan diri. Kekini dan di sini-an adalah ruang historis di mana kita sama sekali tidak bisa mengingkarinya.

Mungkin karena ingin mengembangkan kesadaran historis itulah Gus Faisal merambah dan membaca kehidupan nyata tanpa harus kehilangan identitas kesantriannya. Dia baca buku apa saja terutama sastra dan filsafat. Dia jelajahi kelompok manusia yang ada dalam realitas kekinian. Dia bergabung dengan manusia lintas budaya, lintas agama, lintas strata sosial. Dalam kesantriannya, Faisal ingin membaca dan menyelami realitas hidup sekarang. Hasilnya, Faisal jadi sastrawan. Kini Faisal Kamandobat sudah mendapat pengakuan sebagai seorang penyair, cerpenis, esais, yang karya-karyanya bertebaran di media massa. Seorang santri telah fasih membaca bukan hanya "kitab" melainkan juga "kitab" yang terbuka di depan mata kita: Kehidupan Nyata.

Sastra hadir dan mengembangkan diri dalam ranah makna. Sastra tidak lagi berbicara tentang ajaran formal. "Agama" dalam sastra adalah nilai-nilai akhlakul karimah sebagai pertanggungjawaban kepada peradaban yang mengembangkan kemaslahatan manusia dan alam yang mendukung kehidupannya. Maka komitmen sastra adalah keberpihakan kepada nilai tanggung jawab, kasih sayang, keadilan, kejujuran; pokoknya seluruh nilai keterpujian. Komitmen ini akan menjadi semangat bagi seorang sastrawan untuk berkarya, baik dalam bentuk prosa maupun puisi. Wallahu A'lamu Bishshawab...!!!

Label:

2 Komentar:

Anonymous Anonim mengatakan...

iya memang bener jika santri selalu diajak ke masa lampau..cuma yang namanya sejarah itu memang terulang.. semisal dahulu itu ada yang bernama fir'aun sekarang pun ada ... cuma beda wakru beda tempat ..

Senin, 11 Mei, 2009  
Blogger Unknown mengatakan...

Kapan maen ke Tasik ,

Senin, 30 Maret, 2020  

Posting Komentar

Apa komentarmu...??

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda