Minggu, Desember 07, 2008

Tangisan Di Malam Hari Raya Idul Adha



Oleh: Syarif Istifham

Hari ini saat gema takbir dikumandangkan di setiap penjuru dunia, bukannya ikut bertakbir atau paling tidak ikut bahagia, aku di sini malah tenggelam dalam kesedihanku. Di saat orang-orang berkurban menyembelih unta, sapi, kerbau, atau kambing, sedang aku korban perasaan. Sebenarnya aku juga tak mau seperti ini, tapi rasa sedih ini datang secara tiba-tiba, dan aku pun tak kuasa menghindar darinya.

Tadi malam aku baru saja menelpon rumah, ngobrol-ngobrol sama keluarga. Awalnya kita saling menanyakan kabar dan alhamdulillah semuanya baik baik saja, sehat wal afiyat, kami pun bahagia. Selain itu kita juga saling melepas kerinduan, meskipun hanya lewat telpon. Namun kita tetap bahagia bisa mendengar suara masing-masing. Saat kita sedang menikmati kebahagiaan itu, tiba-tiba ibuku menanyakan sesuatu yang bagiku sangat berat untuk menjawabnya, "Nak, gimana kuliahmu, lancar-lancar saja kan?

Aku terdiam sejenak sambil mencari jawaban dari pertanyaan ibuku tadi. Sempat bingung memang, aku harus ngomong apa sama beliau, kalau aku jujur aku takut ibuku kecewa dan marah, kalau aku bohong aku akan selamanya berbohong, aku harus gimana? Tapi setelah aku pikir-pikir, akhirnya aku memutuskan untuk berkata jujur, apa adanya, sama beliau. "Bu, aku di sini gak pernah masuk kuliah(dengan alasan di kampusku gak ada absensi), kalaupun masuk kuliah itu saja cuma waktu ujian. Aku lebih sering bermain-main ketimbang serius belajar". Jelasku dengan nada rendah.

Mendengar jawabanku tersebut, ibuku diam sebentar, lalu menangis seraya berkata; "koq bisa begitu? Kamu kan sudah jauh-jauh dari indonesia ke mesir untuk mencari ilmu, kamu malah menyepelekannya, itu namanya kamu sembrono. Padahal di sini, kita se-keluarga selalu berusaha sekuat tenaga untuk membiayai dan mendoakanmu, apa kamu tidak tahu itu? apakah kamu tidak menyadari hal itu? Kamu sudah dewasa sekarang, bukan anak kecil lagi, sudah seharusnya kamu berpikir untuk masa depanmu sendiri". Demikian kata ibuku, dengan nada sedikit kecewa.

Aku pun tak tahan mendengar tangisan ibuku, akhirnya aku juga ikut menangis. Memang selama ini aku tak pernah jujur sama orangtuaku perihal kuliahku, itu pun aku lakukan demi menjaga perasaan mereka. Akan tetapi setelah sekian lama aku membohongi mereka, akan tetapi aku tak ingin terus-terusan seperti ini. Sejak saat itulah mulai timbul perasaan dalam diriku untuk berkata jujur, apapun resikonya. Karena aku merasa aku sendiri juga tidak suka dibohongin. Bagiku, lebih baik jujur, meskipun akan menyakitkan, daripada harus bohong yang manfaatnya cuma sebentar.

Belum cukup reda aku dan ibuku menangis, tiba-tiba ibuku bertanya untuk yang kedua kalinya, "Lha terus, hafalan qur'anmu gimana, sudah sampai juz berapa? Lagi-lagi jawabanku membuat ibuku harus menangis, karena selama dua tahun di mesir ini hafalanku sama sekali tidak bertambah, malahan hafalanku yang dipondok dulu sekarang sudah banyak yang lupa. Ibuku menangis, akupun menangis, itulah yang terjadi saat aku menelpon rumah. Menangis, menangis, dan hanya menangis...

Banyak sekali yang tidak bisa aku ceritakan di sini, karena selain perasaanku yang sedang labil saat ini, aku juga kurang pandai bercerita. Intinya, hanya kesedihan yang sedang aku rasakan saat ini, saat takbir bergema dimana-mana. Wallahu A'lamu Bissawab.

Kairo, 10 Dzulhijjah 1429 H.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Apa komentarmu...??

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda