Minggu, April 20, 2008

Menyegarkan Kembali Pemahaman ‘Cinta’ dalam Kultur Pesantren

Oleh Mufidul Wara Fawaid

Pernahkah Anda merasakan dan mengalami cinta? Kalau belum, cobalah, cinta itu indah, menghibur, menggairahkan, mengajari kebebasan, ketulusan, kedamaian, kasih sayang, penyucian, bahkan keadilan. Cinta itu adalah fitrah manusia, kehadirannya tidak bisa dibendung, kehilangannya tidak bisa ditolak cinta ada bersama adanya fitrah kita sebagai manusia. Cinta tercipta demi kemuliaan manusia, cinta itu suci, tercipta dari yang Maha Suci, tanpa cinta tidak akan pernah ada kehidupan. Dengan sendirinya, cinta itu ada adalah anugerah, menolak cinta sama halnya dengan menolak karunia Tuhan dan menyalahi fitrah, dan itu hukumnya berdosa.

Membicarakan cinta sama halnya dengan membicarakan Tuhan, karena membicarakan sesuatu yang sifatnya misterius dan abstrak, tetapi getaran dan rasanya bisa dirasakan tanpa direncanakan. Meragukan eksistensi cinta sama halnya dengan meragukan eksistensi Tuhan, dan itu sebuah pengkhianatan.

Rene Descartes, memang pernah mengatakan, De omnibus dubitandum (segala sesuatu harus diragukan), bahkan si Hemlet, “si filosuf peragu” pernah mendesak bahwa meyakini yang ada dalam hidup ini harus dimulai dengan meragukannya, tetapi sayang ia tidak pernah rela cintanya diragukan oleh Ophelia. Suatu saat Hemlet berseru kepada Ophelia:

Doubt thou the stars are fire;
Doubt the sun doth move;
Doubt truth to be a liar;
But, never doubt I love.
(ragukan bahwa bintang-bintang itu api;
Ragukan bahwa matahari itu bergerak;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi, jangan ragukan cintaku.)

Cinta dan mencintai adalah landasan dan dasar dari eksistensi manusia, mereka yang tidak lagi memiliki kemampuan untuk mencintai tidak layak disebut manusia. Mati dan lenyapnya cinta di dunia berarti musnahnya manusia dan lenyapnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme values).

Kahlil Gibran pun mengajari kita untuk hidup karena cinta, dalam cinta, dan untuk cinta. Kalau gambaran dunia—lebih-lebih bangsa Indonesia—dalam dekade ini menampilkan kebengisan, ketidakramahan, kesadisan, kelicikan, penekanan, membatasi kebebasan, kebencian, egoisme, apalagi pemasungan hak-hak kemanusiaan, masihkah ini dinamakan dunia manusia? Lalu, bagaimana jika fenomena-fenomena di atas terjadi dalam dunia pesantren yang dikenal mempunyai kultur Islami dan suci?.

Di sinilah perlunya pesantren menelaah secara kritis, sistematik, holistik dan radikal akan hakikat dan esensi cinta yang sebenarnya. Walaupun harus diakui, bahwa membahas cinta dalam kultur pesantren sama halnya melakukan kajian analisis yang sia-sia, dan tidak pernah akan ada efeknya sedikit pun. Sebab, bagaimana pun konsep yang akan ditawarkan, teori yang akan dimunculkan, dan definisi yang akan diberikan, semuanya akan berakhir hampa dan hambar. Pesantren akan berjalan dalam dunianya, dan cinta akan mengembara dalam ruang dan wilayahnya sendiri.

Melebur cinta dalam kultur pesantren laksana mencampur barang haram dengan barang halal, atau ibarat barang najis yang jatuh ke tempat yang suci. Padahal, ini tidak berdasar dan tidak benar. Sebab, cinta itu hadir dan dilemparkan Tuhan lewat perasaan dan jiwa manusia. Sedangkan, jiwa merupakan wilayah yang tidak bisa dibatasi oleh ruang dan waktu, sifat dasar jiwa itu adalah bebas, dan tidak bisa dikuasai apalagi diikat. Pesantren boleh memenjarakan tubuh manusia (baca: santri), boleh merampas hak dan kemerdekaan mereka, tetapi pesantren tidak akan mampu membatasi dan memenjarakan jiwa mereka. Secara otomatis, apapun usaha, undang-undang, dan peraturan yang akan diterapkan, cinta akan selalu singgah dalam jiwa manusia, terutama para remaja, bukankah pesantren merupakan komunitas para remaja tersebut?

Persoalannya, bagaimana memahamkan hakikat cinta yang katanya cuci itu kepada masyarakat pesantren? Biar mereka tidak memahami cinta hanya sebatas pacaran, hubungan lawan jenis, dan hubungan cinta-cinta romantik lainnya, seperti surat-suratan, ciuman, pertemuan, pegangan tangan, pelukan, dan saling merindu. Hal yang pada gilirannya kita berharap bahwa cinta akan dipahami dan akan kembali kepada hakikatnya yang sangat esensial—meminjam istilah Sholeh UG—yaitu, cinta sebagai berkah bukan musibah.

Secara umum, bercinta itu berawal dari kecenderungan dan ketertarikan perasaan pada sesuatu yang indah, menyenangkan, menyejukkan, dan menggairahkan. Sehingga muncul obyek cinta yang bermacam-macam, ada cinta ketuhanan, cinta kemanusiaan, cinta alam semesta, dan cinta romantik (lawan jenis). Dari semua obyek cinta ini, para sufi, filosuf, sastrawan, dan mistikus Islam, bahkan tokoh-tokoh romatisme pun akhirnya berkesimpulan bahwa cinta kepada Tuhan adalah sumber dan muara dari berbagai bentuk cinta yang ada di muka bumi ini.

Syaikh Mozaffer Ozak, seorang pemimpin tarekat Halveti-Jerrahi dari Turki pernah berteriak bahwa 'esensi Tuhan adalah cinta'. Bahkan, cinta adalah sesuatu yang diciptakan Tuhan pertama kali, tegas Jalaluddin Rumi. Dalam salah satu tulisannya, Kahlil Gibran pun pernah berdendang mesra bahwa cinta itu berasal dan akan kembali kepada Tuhan, bahkan cinta berada dalam Tuhan dan merupakan bagian dari diri Tuhan itu sendiri, sehingga Dia dikenal dengan sang Maha Cinta, atau Cintanya Cinta, kata Ahmad Dhani, pentolan grup band Dewa 19.

Karena Tuhan adalah segala-galanya dalam hubungan cinta, maka, mencintai segala sesuatu dalam dunia harus mengarah kepada-Nya, dan harus berada di bawah naungan cinta-Nya. Dalam wilayah kemanusiaan, seseorang pasti tidak terlepas dengan hubungan interaksioanal antarsesama. Tentunya, mereka semua menginginkan hubungan tersebut penuh dengan kasih sayang, kedamaian, keadilan, dan saling menghargai hak sesama. Semua itu akan terwujud jika dilandasi cinta, karena semua keinginan di atas adalah bagian kecil dari nilai-nilai dasar yang ada dalam cinta. Inilah yang semestinya dipahami masyarakat pesantren, sehingga antarsesama warga pesantren—kiai dan santri, pengurus dengan santri, santri dengan santri yang lain, santri dan masyarakat—tidak saling hujat, saling iri, saling caci-maki, dan saling mencari kesalahan. Bagaimana program, kegiatan, dan undang-undang pesantren akan berjalan jika komunitas di dalamnya demikian adanya?

Dengan demikian, cinta tidak boleh tidak harus hadir dalam kultur pesantren, sebagai landasan dan pijakan jiwa untuk saling menghormati dan saling menghargai sesama, sehingga pemandangan di dalamnya akan muncul kiai mengelola pesantren karena cinta, santri yang rajin belajar karena cinta, pengurus mengelola pesantren dengan baik dan ikhlas karena cinta, dan komunitas di dalamnya menjalankan undang-undang, program, dan kegiatan-kegiatan lainnya seperti ibadah, mengaji dan berjamaah serta kegiatan sosial lainnya, ikhlas karena cinta bukan karena terpaksa. Pada akhirnya, pesantren tidak terjebak pada pemahaman bahwa cinta adalah hubungan santri putra dan santri putri an sich.

Kalau pemahaman seperti di atas yang terus terjadi, maka, jangan heran jika masyarakat pesantren akan selalu sibuk dengan urusan mengawasi, mengontrol, dan memberantas hubungan santri. Padahal, ini bukan cinta, tetapi hanya luapan nafsu dan gejolak jiwa remaja karena dorongan libodo seksual yang tak terbendung. Lalu, mengapa hubungan percintaan homoseksual dan lesbian yang menjadi budaya pesantren justru tidak pernah diawasi, dikontrol, dan tidak pernah diberantas? Padahal, semua ini lahir atas luapan dan dorongan yang sama?

Di sinilah pesantren dituntut untuk membawa komunitas warganya ke arah pemahaman cinta yang hakiki dan esensi, yaitu cinta ketuhanan dan cinta akan nilai-nilai kemanusiaan (humanisme values). Sebab, cinta kepada Tuhan adalah fitrah manusia, yang akan melahirkan energi ilahiyah untuk berbuat sesuatu yang baik dan bermanfaat. Kata Kahlil Gibran; “The wise men is who loves and reveres God”, (manusia bijaksana ialah manusia yang mencintai dan menghormati Tuhan). Maka, pecinta yang pernah mencium, dan memeluk kekasihnya, kemudian ia tertawa, bahagia dan merasa puas, ini bukan cinta, dan hal ini sangat tidak bijaksana. Sebab, semestinya ia harus menyesal karena telah menodai cinta dan melukai esensi cinta, yaitu, Tuhan.

Cinta dan nafsu bedanya sangat tipis, maka hati-hatilah berbuat yang diatasnamakan cinta, sebab, jangan-jangan itu nafsu. Dengan demikian, pecinta sejati semestinya berbahagia dan berbangga, karena cintanya akan menjadi penopang kesemangatan belajar, teman berbagi dalam hidup, peramai kesepian, pendorong untuk lebih giat sekolah (kuliah), dan menjadi energi untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, bukan justru membuat kurus dan sengsara dan sering merenung. Cinta yang seperti inilah yang seharusnya diajarkan dalam dunia pesantren.

Mengenai pecinta sejati, di mana ia harus berpandangan? Imam Al-Ghazali pernah berurai, bahwa ada lima tabiat yang mendorong manusia untuk mencintai sesuatu, kecenderungan mencintai karena membuatnya mencapai kesempurnaan, karena seseorang telah berbuat baik kepadanya, kekaguman terhadap orang karena telah berbuat baik kepada seluruh manusia, mencintai karena sesuatu itu indah dan cantik, dan mencintai karena adanya kesesuaian dengan dirinya.

Kelima kecenderungan di atas, kalau kita mau berpikir jernih dan kritis, obyek yang paling layak dicintai adalah Tuhan. Sebab, kalau kita mau merenung siapa yang akan mampu memberikan kesempurnaan kalau bukan Tuhan? Siapa yang lebih baik dari pada Tuhan? Siapa yang lebih indah dan cantik kalau bukan Tuhan yang Maha Cantik, Maha Indah dan Maha segalanya? Akhirnya, penulis hanya bisa bersuara lantang cintailah Tuhan, cintailah cinta, maka kamu akan mendapatkan dan meraih segala-galanya.

Label:

0 Komentar:

Posting Komentar

Apa komentarmu...??

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda